Pages

Tampilkan postingan dengan label Hukum Perpajakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perpajakan. Tampilkan semua postingan

Kamis, Februari 23

ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM PERPAJAKAN NASIONAL

ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM PERPAJAKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN

a.       Latar Belakang
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan harta dan penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban berupa zakat bagi yang telah memenuhi syarat. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga memiliki kewajiban pajak bagi yang telah memenuhi syarat, karena telah dibuat undang-undang yang mewajibkan itu. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Sebagai warga negara Indonesia Umat Muslim memiliki kewajiban ganda yakni kewajiban membayar Zakat sebagaimana yang diwajibkan oleh agamanya dan kewajiban membayar pajak sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Berkenaan dengan kewajiban ganda tersebut terlepas dari pendapat yang pro maupun kontrak penulis berpendapat bahwa kedua hal ini haruslah ditemukan sebuah titik temu untuk mencari solusi yang terbaik. Antara zakat dan pajak keduanya hampir memiliki fungsi yang sama yakni untuk kemaslahatan umat dan pembiayaan negara, jadi apabila hal ini dapat difasilitasi oleh pemerintah dengan baik tidak menutup kemungkinan potensi yang akan didapat oleh negara akan lebih efektif dan juga untuk pelaksanaannya di dalam masyarakat akan semakin tertib dan terjamin.

Sejalan dengan pendapat diatas kiranya tidak terlalu berlebihan apabila penulis mencoba untuk menggali potensi berkaitan antara pajak dan zakat, serta bagaimanakah sebenarnya kedudukan zakat itu dalam sistem perpajakan nasional?

b.      Perumusan Masalah
1.       Pengertian dan Sumber Hukum Zakat dan Pajak
2.       Bagaimana keterkaitan antara Zakat dan Pajak dalam sistem hukum Indonesia

c.       Pembatasan Pembahasan
1.       Pendekatan perundangan Perpajakan
2.       Pendekatan dalam Hukum Pajak

d.      Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.       Tujuan Obyektif
1.1. Untuk mengetahui Ketentuan Hukum yang mengatur tentang perpajakan
1.2. Untuk mengetahui sejauh mana zakat dikaitkan dengan perpajakan di Indonesia
1.3. Untuk mengetahui lebih jauh apakah Zakat dapat dipergunakan sebagai pengurang Pajak

2.       Tujuan Subyektif
2.1. Untuk menambah wawasan mengenai perpajakan di Indonesia
2.2. Sebagai referensi bagi setiap warga negara yang telah memiliki kewajiban perpajakan
2.3. Untuk memenuhi kewajiban tugas mata kuliah hukum Perpajakan

e.      Manfaat Penulisan
1.       Manfaat Teoritis
2.       Manfaat Praktis
a.       Mengembangkan daya kreatifitas berfikir kritis….
b.      Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penulis lain untuk lebih …..
c.       Penulisan ini diharapkan mampu menjawab permaslahan yang timbul dalam masyarakat wajib pajak yang beragama Islam

BAB II PEMBAHASAN

A.1 PENGERTIAN PAJAK
Pajak adalah a compulsory levy made by public authorities for which nothing is received direcly in return. Sommerfield mendefinisikan pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya menjalankan pemerintahan. Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (public investment).

Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, ciri-ciri pajak adalah sebagai berikut:
1.       Pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari sektor swasta ke sektor negara, artinya bahwa yang berhak melakukan pemungutan pajak adalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda). Di Indonesia Pemda yang berwenang memungut pajak adalah pemerintah propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan yang dipungut adalah pihak swasta dalam pengertian luas baik sektor swasta, koperasi maupun BUMN dan BUMD dan lain-lain. Secara konsep pajak dapat dibayar dengan uang maupun barang atau jasa selain uang.
2.       Berdasarkan UU, artinya bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari wakil-wakil rakyat dengan menyetujui UU. Karena pemungutan pajak berdasarkan UU berarti bahwa pemungutannya dapat dipaksakan.
3.       Tanpa imbalan dari negara yang langsung dapat ditunjuk secara individual, artinya bahwa imbalan tersebut tidak dikhususkan bagi rakyat secara individual dan tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya  pajak. Imbalan dari negara kepada rakyat sifatnya tidak langsung.
4.       Untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.[7]



   2. FUNGSI PAJAK
Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: fungsi budgetair atau fungsi finansial dan fungsi redistribusi pendapatan bagi masyarakat. Fungsi yang pertama, sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgetair (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi pajak untuk mengatur sesuatu keadaan di masyarakat di bidang sosial/ekonomi/politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi ini. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

Beberapa penerapan pelaksanaan fungsi mengatur antara lain :
1.       Pemberlakukan tarip progresif dengan maksud kalau hal ini diterapkan pada PPh maka semakin tinggi penghasilan semakin tinggi tarip pajaknya. Sehingga kebijaksanaan ini berpengaruh besar terhadap usaha pemerataan pendapatan nasional. Dalam hubuangan ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam redistribusi pendapatan nasional.
2.       Pemberlakuan bea masuk tinggi bagi barang-barang impor dengan tujuan untuk melindungi (proktesi) terhadap produsen dalam negeri, sehingga mendorong perkembangan industri dalam negeri.
3.       Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong atau memotivasi para investor atau calon investor untuk meningkatkan investasinya.
4.       Pengenaan pajak untuk jenis barang-barang tertentu dengan maksud agar menghambat konsumsi barang-barang  tersebut  atau kalau pajak tersebut diterapkan pada barang mewah sebagaimana PPn BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) mempunyai maksud antara lain menghambat perkembangan gaya hidup mewah.

  3. PEMBAGIAN JENIS PAJAK
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan RI. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

a. Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
1.       Pajak Penghasilan (PPh); adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Yang dikecualikan dalam objek pajak:
a.       Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah;
b.      Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil;

2.       Pajak Pertambahan Nilai (PPN); adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.  
3.       Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM); selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM.
4.       Bea Meterai; adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
6.       Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

b.  Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara
      lain meliputi:
1.       Pajak Propinsi
2.       Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
3.       Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
4.       Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
5.       Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Pajak Kabupaten/Kota:
1.       Pajak Hotel;
2.       Pajak Restoran;
3.       Pajak Hiburan;
4.       Pajak Reklame;
5.       Pajak Penerangan Jalan;
6.       Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
7.       Pajak Parkir.





B. 1. PENGERTIAN ZAKAT

Zakat adalah tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah (menurut HR.At-tarmidzi) atau dapat pula berarti mebersihkan atau mensucikan (QS: at-taubah Ayat 10).
Zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta tertentu menurut sifat-sifat tertentu dan memberikan kepada golongan tertentu (Al mawardi dlm kitab Al-hawiy). Selain itu dapat diartikan pula sebagai sodaqoh atau infaq oleh ulama-ulama fiqh. Sodaqoh wajib dinamakan zakat, sodaqoh sunah dinamakan infaq.[1]

Zakat merupakan pilar ketiga islam, sebagaimana dijelaskan oleh sebuah Hadist Nabi SAW, yang artinya: “Islam dibangun atas lima rukun, yaitu Syahadad bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan Nabi Muhammad adalah utusanNYA, mendirikan Sholat, membayar Zakat, Puasa bulan Romadon, dan menunaikan Ibadah Haji bagi orang-orang yang mampu”.
Sedangkan dari istilah Fiqh (ilmu islam), Zakat berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Alloh diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.”

Definisi berbeda dikemukakan oleh MONZER KAHF, bahwa zakat adalah “Pajak” (pembayaran) Tahunan bercorak khusus yang dipungut dari harta bersih seseorang, yang harus dikumpulkan oleh Negara dan dipergunakan untuk tujuan Khusus, terutama berabagai corak jaminan sosial.[2]

          2. FUNGSI ZAKAT

Didalam Zakat terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh yakni untuk membersihkan jiwa dan harta. Disamping harta menjadi berkembang jiwapun akan semakin tenang dan tenteram. Berkembangnya harta dapat dilihat dalam dua aspek: yang pertama, aspek spiritual sebagaimana disebutkan dalam QS: Al-Baqarah 276: “Alloh memusnahkan Riba dan mengembangkan sedekah (Zakat)”. Yang kedua, aspek ekonomis psikologis, yaitu adanya ketenangan batin bagi si pembayar zakat, sehingga akan mengantarkannya untuk lebih berkonsentrasi dan berusaha keras demi terciptanya daya beli.
Menurut MARCEL BOUSARD, Zakat memberikan kemenangan terhadap egoisme diri atau menumbuhkan kepuasan moral bagi muzakki (pemberi zakat), karena telah ikut mendirikan sebuah masyarakat islam yang lebih adil. Ibadah zakat ikut menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat.[3]





           3. MACAM-MACAM ZAKAT.

a. Zakat Maal (harta) adalah zakat harta benda yang dimiliki oleh seorang muslim yang mana
harta telah dikuasainya selama kurun waktu satu tahun atau dalam bahasa arab disebut khaulaini sempurna selma satu tahun. Adapun yang termasuk dalam Zakat Maal  adalah :
1. Binatang ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba)
    dan Unggas (ayam, itik, burung);
    2. Emas dan Perak;
    3. Harta perniagaan;
    4. Hasil pertanian;
    5. Ma’din (hasil tambang ) dan kekayaan laut (mutiara, marjan, ambar, dll.);
    6. Rikaz (harta terpendam dari zaman dahulu (harta karun).

b. Zakat Nafsh (Zakat Fitrah) adalah Zakat dalam bentuk kebutuhan pokok bagi masyarakat
sekitar yang diberikan pada akhir bulan Ramadan atau sebelum hari raya Idul Fitri. Zakat Fitrah (Zakat Nafsh) ini mempunyai sifat khusus, mutlak harus diberikan sebelum sholat Idul Fitri. Apabila Zakat itu diberikan setelah sholat idul Fitri, maka Zakat tersebut bukanlah Zakat Fitrah, melainkan Sedekah biasa.

Kedudukan Zakat Didalam Sistem Perpajakan Nasional

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas, Zakat memiliki fungsi yang sangat strategis dalam hubungan sosial masyarakat, sebagai penyeimbang antara warga masyarakat yang berada dan masyarakat yang kurang berpunya, sehingga apabila zakat ini dapat digali dengan sistem yang terkoordinasi dengan yang terkait serta langsung dikendalikan oleh pemerintah, maka bukan mustahil zakat akan semakin berdaya guna dengan baik, serta dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Lalu bagaimanakah sebenarnya kedudukan Zakat sendiri dalam sistem perpajakan nasional, apakah zakat sudah merupakan bagian pengurang pajak ??
Bagi kaum muslim yang telah memenuhi kewajiban membayar Zakat kepada Lembaga Amil Zakat (LAZIS) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 2009, maka zakat yang dibayarkan tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang zakat. Artinya Zakat yang tidak dibayarkan melalui Lembaga yang telah resmi ditunjuk oleh Pemerintah, maka tidak bisa menjadi pengurang Pajak itu sendiri.
Hal ini tidak berlaku bagi muzakki yang membayarkan langsung kewajiban zakatnya kepada masyarakat tanpa melalui Lembaga Amil Zakat yang telah ditetukan oleh Pemerintah. Demikian itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 19 tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, huruf f disebutkan bahwa “harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah”.



BAB IV KESIMPULAN

Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.
Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak :
1.      Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2.      Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)
3.      Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4.      Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.
Adapun segi perbedaannya :
1.      Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat : suci, tumbuh. Pajak (dharaba) : upeti.
2.      Mengenai hakikat dan tujuannya
Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3.      Mengenai batas nisab dan ketentuannya.
Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.
4.      Mengenai kelestarian dan kelangsungannya.
Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5.      Mengenai pengeluarannya.
Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.
6.      Hubungannya dengan penguasa.
Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkan¬nya sendiri-sendiri.
7.      Maksud dan tujuan.
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadah dan pajak sekaligus". Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983  TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

SURAT KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 8 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN AMIL ZAKAT TINGKAT NASIONAL
SURAT KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NO. 581 TAHUN 1999 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

Monzer Kahf, Ekonomi Islam Telaah Analitk Terhadap Fungsi Ekonomi Islam,(Yogyakarta, Aditya Media, 2000), Cet 1, Edisi II, hlm, 97
MARCEL BOUSARD dalam CECEP YUSUF PRAMANA “Fungsi Zakat sebagai Media Transformasi Masyarakat”, Kompas 19 November 2002.


[2] Monzer Kahf, Ekonomi Islam Telaah Analitk Terhadap Fungsi Ekonomi Islam,(Yogyakarta, Aditya Media, 2000), Cet 1, Edisi II, hlm, 97
[3] MARCEL BOUSARD dalam CECEP YUSUF PRAMANA “Fungsi Zakat sebagai Media Transformasi Masyarakat”, Kompas 19 November 2002.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

ANALISIS HISTORIS UNDANG UNDANG MENGENAI KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN INDONESIA


ANALISIS HISTORIS
UNDANG UNDANG MENGENAI KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Permasalahan


Pajak merupakan sumber keuangan bagi Negara yang sangat besar, bahkan merupakan penyokong utama dalam menggerakkan roda pemerintahan Indonesia, sehingga diperlukan suatu ketaatan dari masyarakat agar memiliki kesadaran yang baik untuk membayar pajak. Salah satu yang memiliki peran agar pajak dapat dipungut pemerintah dengan  baik dan efisien adalah dibuatnya suatu ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tata cara perpajakan. Ketentuan perpajakan ini haruslah memuat hal – hal yang dapat membuat wajib pajak memiliki kesadaran yang tinggi untuk melaksanakan kewajiban perpajajakannya.

Disamping itu pemerintah juga harus mengupayakan dengan sedemikian rupa sehingga dalam melaksanakan pemungutan pajak serta mengelola hasil pajak yang dihimpun dari masyarakat bertanggung jawab dengan baik atas tugas yang diembannya, serta menyelenggarakan pemerintahan dengan akuntabilitas yang baik dan transparan, sehingga terjadi keseimbangan. Dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tentunya akan berpengaruh positif bagi wajib pajak untuk memiliki rasa ikut betanggung jawab dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dalam menyelenggarakan kepentingan umum untuk mewujudkan kesejahteraan kadangkala pemerintah melanggar hak-hak masyarakat terutama dalam pemungutan pajak, Hal ini dapat dihindari jika pemerintah menghayati dan menaati hukum pajak yang berlaku. Hukum harus dapat menjadi alat untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat (social engineering), artinya hukum dapat menciptakan kondisi yang harmonis dalam memperbaiki kehidupannya [1].

Ketentuan perpajakan tentunya harus melihat berbagai aspek yang berkembang dalam masyarakat, agar ketentuan perundangan yang ada dapat dijadikan pedoman bagi penyelenggara pemerintahan maupun wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dalam perpajakan. Diperlukan suatu kajian yang terus menerus oleh penyelenggara negera agar ketentuan atau undang undang yang dibuat dapat menjadi pedoman bagi semua pihak, baik wajib pajak maupun penyelenggara negara.

Sesuai dengan latar belakang penulisan makalah ini penulis akan mencoba menguraikan permasalahan tentang “ANALISIS HISTORIS UNDANG UNDANG TENTANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN INDONESIA”.

B. Perumusan Masalah


Terkait dengan uraian diatas, mengingat cakupan perpajakan ini sangat luas, serta masih terbatasnya wawasan penulis,  maka penulis membatasi uraian hanya pada landasan sosiologis, landasan politis, landasan ekonomis dan ketersesuaian undang undang tentang ketentuan umum perpajakan dengan Falsafah Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tulisan ini dimaksudkan untuk lebih memperdalam pemahaman penulis akan Hukum  Perpajakan, khususnya mengenai hal hal yang melatar belakangi undang undang tersebut,  juga dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya. Sehingga diharapkan penulisan ini  dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi masyarakat dan sekaligus sebagai referensi bagi pembaca, untuk menambah kepustakaan yang  telah dimiliki.
Keterbatasan penulis dalam memahami literatur yang ada, juga karena masih dangkalnya pemahaman penulis, tentunya masih banyak sekali kekurangan dalam tulisan ini, harapan penulis dengan menulis akan semakin menambah wawasan penulis dalam membahas suatu permasalahan yang ada.


BAB II

PEMBAHASAN

1.     Pengertian Pajak


Pajak menurut Pasal 1 Undang undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro,-S.H,  Pajak ialah iuran rakyat kepada khas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Bayak sekali definisi definisi yang diberikan oleh para ahli mengenai pajak ini, yang pada pokoknya adalah memuat kewajiban menyisihkan sebagian kekayaan wajib pajak dan diserahkan kepada Negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum.

Perundang undangan perpajakan yang ada tentunya harus dibuat oleh pembuat kebijakan dalam hal ini penyelanggara pemerintahan dengan persetjuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan arif, dengan memperhatikan hal hal yang mendasar yang berkembang didalam masyarakat. Kultur budaya, tingkat perekonomian, kematangan berfikir dan kemampuan bertindak yang ada dalam masyarakat  juga sangat berpengaruh dalam pergaulan masyarakat pada umumnya.

Tingkat pemahaman ini biasanya akan berpengaruh terhadap dua segi yaitu segi positif dan segi negatif, karena pada prinsipnya seseorang itu tidak ingin kekayaan yang dimilikinya dengan melakukan kerja keras dan usaha yang tidak mudah dengan begitu saja menyerahkan begitu saja kepada pihak lain dalam hal ini Negara untuk kepentingan umum, dengan demikian maka diperlukan suatu peraturan perundangan yang dapat dengan baik memaksa masyarakat untuk membayar pajak.

Dari segi positifnya masyarakat akan semakin sadar dan memahami bahwasanya kepentingan kepentingan umum juga menjadi salah satu tugas bersama, bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja melainkan tugas kita sebagai warga masyarakat, sedangkan dari segi negatifnya sebagaian masyarkat akan selalu mencari cara bagaimana dapat menghindari kewajiban pajaknya, atau menekan seminimal mungkin pengeluaran untuk membayar pajak.

2.     Perundangan KUP ditinjau dari sudut pandang Sosiologis


Undang undang No. 16 Tahun 2007  Tentang perubahan ketiga tentang Ketentuan umum Perpajakan, adalah merupakan perbaikan perundangan dari undang undang sebelumnya. Kultur dan budaya masyarakat merupakan faktor yang menjadi  pertimbangan penting dalam penyusunan suatu perundangan. Karena sejauh mana keefektifan sebuah perundangan adalah berdasarkan sejauh mana undang undang itu dapat mengakomodir kepentingan masyarakat serta sejauhmana perundangan ini dapat diterapkan.

Didalam konsideran Undang undang No. 6 tahun 1983 Tentang ketentuan umum Perpajakan disebutkan bahwa  “Sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai”. [2]

Pada perjalanan sebuah Negara  berikutnya tentu terjadi perubahan dalam masyarakat, sehingga hal ini juga tentunya harus dibarengi dengan ketentuan ketentuan baru yang dapat mewakili kepentingan masyarakat, agar kesinambungan dapat terus berjalan. Sehingga perundangan yang ada perlu untuk revisi atau diperbaharui, agar kepentingan kepentingan baik itu kepentingan masyarakat maupun kepentingan pemerintah dapat tetap berjalan dengan baik.

Didalam konsideran Perundangan tentang ketentuan Umuum Perpajakan perpajakan nomor  No. 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas  1994 Tentang Perubahan Atas Undang- Udang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa :  “Pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya dibidang perekonomian, termasuk perkembangan bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”. [3]

Dalam setiap pembuatan perundangan tentunya tidak akan mungkin kemudian menjadi sempurna, karena perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, juga selalu berubah,  “Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.” [4]

3.     Perundangan KUP ditinjau dari sudut pandang Politis


Tujuan secara politis penyelenggaraan peraturan perpajakan, adalah demi berlangsungnya penyelenggaraan suatu Negara, penyediaan penyediaan fasilitas fasilitas umum sehingga dalam membuat suatu perundangan sangat diperlukan metode-metode khusus agar misi atau tujuan dari Negara dapat berlangsung dengan baik. Hal ini tercermin dalam landasan pembuatan perundangan dimaksud. Konsideran Undang undang No. 6 Tahun 1983, disebutkan bahwa: “Sistem perpajakan yang tertuang didalam ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku selama ini belum dapat menggerakan peran serta semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri dan sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan meningkatkan pembangunan nasional“. [5]
Reformasi perpajakan digulirkan pemerintah. Penggodokan RUU Perpajakan ada di tangan DPR. Amandemen atau perubahan meliputi tiga draf RUU Perpajakan dari paket perpajakan tahun 2000 yakni UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Intinya adalah menurunkan tarif, memberikan insentif, mengubah subjek dan objek pajak agar kompetitif.
Politik hukum nasional di bidang perpajakan tercantum dalam UUD 1945 Pasal 23A, yang menentukan bahwa, ”pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU”. Artinya, pungutan pajak oleh pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pajak untuk menopang pemasukan pajak ke kas negara dan juga menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial, harus mendapat persetujuan rakyat melalui wakilnya yang duduk di DPR.
Pada periode selanjutnya kondisi masyarakat juga semakin berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, konsekwensi yang timbul adalah sejauh mana efektifitas sebuah perundangan perpajakan, kepatuhan masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya juga menjadi tolok ukur perlu tidaknya perubahan perundangan perpajakan dilakukan perubahan.
Ketidak tepatan analisis juga berdampak terhadap efektifitas sebuah perundangan, “Dalam Perubahan ketiga UU KUP yang mewajibkan pemilikan NPWP dan akan dilakukan dalam waktu yang singkat, dengan penalti yang jika dilaksanakan berpotensi menimbulkan keresahan. Sementara itu, bagi instansi perpajakan, manfaat yang diperoleh dari puluhan juta pemilik NPWP baru adalah amat kecil, karena sebagian terbesar mereka adalah pekerja yang hanya memiliki penghasilan tunggal dan dapat dipastikan akan menyampaikan SPT Nihil.[6]

Kondisi ini tercermin dalam konsideran UU No 9 Tahun 1994, yakni ; “dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan, diperlukan angkah langkah penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan [7]

4.     Perundangan KUP ditinjau dari sudut pandang Ekonomis


Setiap perundangan yang dibuat tentunya sangat memperhatikan keadaan social masyarakat yang ada pada saat undang undang tersebut disusun, karena pada dasarnya undang undang disusun untuk dapat dilaksanakan sebagaimana tujuan dari dibuatnya undang undang tersebut. Pada tahun 1983, misalnya dalam pembuatan undang undang terkait dengan perpajakan yang menjadi tolok ukurnya adalah keadaan ekonomi masyarakat pada tahun itu seperti apa kecenderungan pengkatan taraf hidup masyarakat kedepan bagimana, itulah yang menjadi latar belakang pembuatan undang uandang tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari konsideran Undang undang saat itu, yakni ;  “Sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi kegotong royongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai [8]

Perundangan tentunya tidak akan relevan lagi diterapkan apabila tingkat perekonomian masyarakat telah berkembang, hal ini tercermin pada saat diberlakukannya UU perpajakan tahun 1994, yakni ;  “Pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk perkembangan bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” [9]
Perkembangan tehnonolgy tentunya akan banyak mempengaruhi system perekonomian suatu Negara, hal ini juga berlaku bagi Negara Indonesia, khususnya terkait dengan kewajiban perpajakan, sehingga diperlukan perubahan perangkat hukum yang mengatur tentang perpajakan, dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada, yakni ; “Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994. [10]

Perubahan akan terus menerus terjadi, baik dalam bidang teknologi dan informasi, kebudayaan, sosial maupun ekonomi masyarakat, hal ini dapat dilihat dari sering dirubahnya perundangan yang ada untuk mengakomodir terjadinya pergeseras pola piker masyarakat pada saat itu, tidak terkecuali perubahan terkait dengan perundangan perpajakan. Masyarakat maupun ppenyelenggara pemerintahan tentuanya menginginkan tata cara perpajakan ini dapat diterapkan secara mudah, efisien dan efektif serta ekonomis, hal ini dapat dilihat dari konsideran dalam undang undang tersebut, yakni ;   “Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000”. [11]

Dalam peraturan peraturan pendukung perpajakan lainnya yang diterbitkan oleh menteri keuangan, maupun dirjen pajak, banyak sekali mengatur mengenai bagaimana pelaksanaan perpajakan ini dapat berjalan secara efisien dan ekonomis,  misalnya dalam pelaporan pajak penghasilan (PPh) pasal 21  dapat dilakukan dengan efisien dan cepat, kalau sebelum undang undang ini diberlakukan pelaporan mutlak harus dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak setempat, dengan konsekwensi mengantri pada saat saat batas akhir pelaporan pph pasal 21, biasanya terjadi pada akhir bulan Maret, kini sudah tidak lagi harus dilakukan di KPP, tetapi dapat dilakukan dibanyak tempat dengan disediakan dropbox, misalnya di mall atau pertokoan pertokoan besar, di bank bank dan sebagainya.

Dalam hal pembuatan laporan pajak penghasilan PPh Pasal 21, misalnya, dalam ketentuan sebelumnya, khususnya perusahan perusahaan harus mencetak formulir 1721 A1, untuk seleruh karyawan yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Kantor Pelayanan pajak (KPP) dan untuk karyawan , kini sudah tidak lagi diperlukan sudah cukup dengan menggunakan e-SPT.

Itulah sebagian contoh perubahan – perubahan yang ada dalam bidang perpajakan yang dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya lebih mengarah terhadap efisiensi dan memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.   

5.     Keselarasan Perundangan KUP dengan Pancasila dan UUD 1945


Indonesia sebagai negara hukum, bercirikan negara kesejahteraan (Welfare State) yang berkehendak untuk mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Dalam negara kesejahteraan modern, tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas dan kadangkala melanggar hak-hak masyarakat dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini dapat dihindari jika pemerintah menghayati dan menaati hukum pajak yang berlaku. Pemungutan pajak di Indonesia memiliki falsafah  Panca Sila dan Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya dalamPasal 23-A UUD 1945 hasil amandemen ke 4 yang berbunyi: “Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”

Bahwa pajak harus diatur dengan undang-undang mencerminkan bahwa pungutan pajak ditentukan bersama-sama rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR termasuk penentuan besarnya tarif pajak. Dengan demikian reformasi berkelanjutan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran-serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Setiap perundangan yang diterbitkan harus selalu memperhatikan keselarasan dengan landasan ideologi Negara. Begitu pula dengan undang undang undang perpajakan yang sejak pertama diundangkannya ketentuan perpajakan hingga perubahan ketiga, selalu mengacu pada landasan dasar ideology Negara.

Hal ini dapat dilihat dari konsideran perundangan perpajakan, yakni pada undang undang perpajakan tahun  1983 ;  “ Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, Dalam Undang undang Dasar 1945, Pasal 20 ayat (1) ” Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”, dan Pasal 23A ayat (2) “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.


DAFTAR PUSTAKA


·         UNDANG UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
·         Undang-Undang Nomor 6  Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
·         Undangundang Nomor 16 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
·         Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
·         Makalah Hukum perpajakan, Dosen pengampu………….
·         www.wikipedia.co.id
·         www.kompas.com
·         www.setneg.go.id
·         www.ortax.org.com
·         www.suaramerdeka.com


[1] Deden Sumantry, S.H., M.H., Tax reform as a balanced legal protection between tax payers and the tax authorities as the implementation of taxation law, hal 1


[2] Konsideran Undang undang No. 6 tahun 1983
[3] Undang undang No. 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas  1994 Tentang Perubahan Atas Undang- Udang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
[5]  UUNo 6 tahun 1983
[6] Rahmat S, Kompas; 24/10/2005, www.suaramerdeka.com/harian/0512/01/opi4.htm
[7] UU No 9 Tahun 1994
[8]  UU no 6 tahun 1983
[9] UU No 9 Tahun 1994
[10] UU No 16 tahun 2000
[11]  UU No 28 Tahun 2007
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer