Pages

Tampilkan postingan dengan label Hukum Perdata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perdata. Tampilkan semua postingan

Kamis, Februari 23

ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM PERPAJAKAN NASIONAL

ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM PERPAJAKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN

a.       Latar Belakang
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan harta dan penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban berupa zakat bagi yang telah memenuhi syarat. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga memiliki kewajiban pajak bagi yang telah memenuhi syarat, karena telah dibuat undang-undang yang mewajibkan itu. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Sebagai warga negara Indonesia Umat Muslim memiliki kewajiban ganda yakni kewajiban membayar Zakat sebagaimana yang diwajibkan oleh agamanya dan kewajiban membayar pajak sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Berkenaan dengan kewajiban ganda tersebut terlepas dari pendapat yang pro maupun kontrak penulis berpendapat bahwa kedua hal ini haruslah ditemukan sebuah titik temu untuk mencari solusi yang terbaik. Antara zakat dan pajak keduanya hampir memiliki fungsi yang sama yakni untuk kemaslahatan umat dan pembiayaan negara, jadi apabila hal ini dapat difasilitasi oleh pemerintah dengan baik tidak menutup kemungkinan potensi yang akan didapat oleh negara akan lebih efektif dan juga untuk pelaksanaannya di dalam masyarakat akan semakin tertib dan terjamin.

Sejalan dengan pendapat diatas kiranya tidak terlalu berlebihan apabila penulis mencoba untuk menggali potensi berkaitan antara pajak dan zakat, serta bagaimanakah sebenarnya kedudukan zakat itu dalam sistem perpajakan nasional?

b.      Perumusan Masalah
1.       Pengertian dan Sumber Hukum Zakat dan Pajak
2.       Bagaimana keterkaitan antara Zakat dan Pajak dalam sistem hukum Indonesia

c.       Pembatasan Pembahasan
1.       Pendekatan perundangan Perpajakan
2.       Pendekatan dalam Hukum Pajak

d.      Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.       Tujuan Obyektif
1.1. Untuk mengetahui Ketentuan Hukum yang mengatur tentang perpajakan
1.2. Untuk mengetahui sejauh mana zakat dikaitkan dengan perpajakan di Indonesia
1.3. Untuk mengetahui lebih jauh apakah Zakat dapat dipergunakan sebagai pengurang Pajak

2.       Tujuan Subyektif
2.1. Untuk menambah wawasan mengenai perpajakan di Indonesia
2.2. Sebagai referensi bagi setiap warga negara yang telah memiliki kewajiban perpajakan
2.3. Untuk memenuhi kewajiban tugas mata kuliah hukum Perpajakan

e.      Manfaat Penulisan
1.       Manfaat Teoritis
2.       Manfaat Praktis
a.       Mengembangkan daya kreatifitas berfikir kritis….
b.      Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penulis lain untuk lebih …..
c.       Penulisan ini diharapkan mampu menjawab permaslahan yang timbul dalam masyarakat wajib pajak yang beragama Islam

BAB II PEMBAHASAN

A.1 PENGERTIAN PAJAK
Pajak adalah a compulsory levy made by public authorities for which nothing is received direcly in return. Sommerfield mendefinisikan pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya menjalankan pemerintahan. Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (public investment).

Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, ciri-ciri pajak adalah sebagai berikut:
1.       Pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari sektor swasta ke sektor negara, artinya bahwa yang berhak melakukan pemungutan pajak adalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda). Di Indonesia Pemda yang berwenang memungut pajak adalah pemerintah propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan yang dipungut adalah pihak swasta dalam pengertian luas baik sektor swasta, koperasi maupun BUMN dan BUMD dan lain-lain. Secara konsep pajak dapat dibayar dengan uang maupun barang atau jasa selain uang.
2.       Berdasarkan UU, artinya bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari wakil-wakil rakyat dengan menyetujui UU. Karena pemungutan pajak berdasarkan UU berarti bahwa pemungutannya dapat dipaksakan.
3.       Tanpa imbalan dari negara yang langsung dapat ditunjuk secara individual, artinya bahwa imbalan tersebut tidak dikhususkan bagi rakyat secara individual dan tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya  pajak. Imbalan dari negara kepada rakyat sifatnya tidak langsung.
4.       Untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.[7]



   2. FUNGSI PAJAK
Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: fungsi budgetair atau fungsi finansial dan fungsi redistribusi pendapatan bagi masyarakat. Fungsi yang pertama, sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgetair (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi pajak untuk mengatur sesuatu keadaan di masyarakat di bidang sosial/ekonomi/politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi ini. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

Beberapa penerapan pelaksanaan fungsi mengatur antara lain :
1.       Pemberlakukan tarip progresif dengan maksud kalau hal ini diterapkan pada PPh maka semakin tinggi penghasilan semakin tinggi tarip pajaknya. Sehingga kebijaksanaan ini berpengaruh besar terhadap usaha pemerataan pendapatan nasional. Dalam hubuangan ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam redistribusi pendapatan nasional.
2.       Pemberlakuan bea masuk tinggi bagi barang-barang impor dengan tujuan untuk melindungi (proktesi) terhadap produsen dalam negeri, sehingga mendorong perkembangan industri dalam negeri.
3.       Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong atau memotivasi para investor atau calon investor untuk meningkatkan investasinya.
4.       Pengenaan pajak untuk jenis barang-barang tertentu dengan maksud agar menghambat konsumsi barang-barang  tersebut  atau kalau pajak tersebut diterapkan pada barang mewah sebagaimana PPn BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) mempunyai maksud antara lain menghambat perkembangan gaya hidup mewah.

  3. PEMBAGIAN JENIS PAJAK
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan RI. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

a. Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
1.       Pajak Penghasilan (PPh); adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Yang dikecualikan dalam objek pajak:
a.       Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah;
b.      Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil;

2.       Pajak Pertambahan Nilai (PPN); adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.  
3.       Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM); selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM.
4.       Bea Meterai; adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
6.       Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

b.  Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara
      lain meliputi:
1.       Pajak Propinsi
2.       Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
3.       Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
4.       Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
5.       Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Pajak Kabupaten/Kota:
1.       Pajak Hotel;
2.       Pajak Restoran;
3.       Pajak Hiburan;
4.       Pajak Reklame;
5.       Pajak Penerangan Jalan;
6.       Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
7.       Pajak Parkir.





B. 1. PENGERTIAN ZAKAT

Zakat adalah tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah (menurut HR.At-tarmidzi) atau dapat pula berarti mebersihkan atau mensucikan (QS: at-taubah Ayat 10).
Zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta tertentu menurut sifat-sifat tertentu dan memberikan kepada golongan tertentu (Al mawardi dlm kitab Al-hawiy). Selain itu dapat diartikan pula sebagai sodaqoh atau infaq oleh ulama-ulama fiqh. Sodaqoh wajib dinamakan zakat, sodaqoh sunah dinamakan infaq.[1]

Zakat merupakan pilar ketiga islam, sebagaimana dijelaskan oleh sebuah Hadist Nabi SAW, yang artinya: “Islam dibangun atas lima rukun, yaitu Syahadad bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan Nabi Muhammad adalah utusanNYA, mendirikan Sholat, membayar Zakat, Puasa bulan Romadon, dan menunaikan Ibadah Haji bagi orang-orang yang mampu”.
Sedangkan dari istilah Fiqh (ilmu islam), Zakat berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Alloh diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.”

Definisi berbeda dikemukakan oleh MONZER KAHF, bahwa zakat adalah “Pajak” (pembayaran) Tahunan bercorak khusus yang dipungut dari harta bersih seseorang, yang harus dikumpulkan oleh Negara dan dipergunakan untuk tujuan Khusus, terutama berabagai corak jaminan sosial.[2]

          2. FUNGSI ZAKAT

Didalam Zakat terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh yakni untuk membersihkan jiwa dan harta. Disamping harta menjadi berkembang jiwapun akan semakin tenang dan tenteram. Berkembangnya harta dapat dilihat dalam dua aspek: yang pertama, aspek spiritual sebagaimana disebutkan dalam QS: Al-Baqarah 276: “Alloh memusnahkan Riba dan mengembangkan sedekah (Zakat)”. Yang kedua, aspek ekonomis psikologis, yaitu adanya ketenangan batin bagi si pembayar zakat, sehingga akan mengantarkannya untuk lebih berkonsentrasi dan berusaha keras demi terciptanya daya beli.
Menurut MARCEL BOUSARD, Zakat memberikan kemenangan terhadap egoisme diri atau menumbuhkan kepuasan moral bagi muzakki (pemberi zakat), karena telah ikut mendirikan sebuah masyarakat islam yang lebih adil. Ibadah zakat ikut menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat.[3]





           3. MACAM-MACAM ZAKAT.

a. Zakat Maal (harta) adalah zakat harta benda yang dimiliki oleh seorang muslim yang mana
harta telah dikuasainya selama kurun waktu satu tahun atau dalam bahasa arab disebut khaulaini sempurna selma satu tahun. Adapun yang termasuk dalam Zakat Maal  adalah :
1. Binatang ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba)
    dan Unggas (ayam, itik, burung);
    2. Emas dan Perak;
    3. Harta perniagaan;
    4. Hasil pertanian;
    5. Ma’din (hasil tambang ) dan kekayaan laut (mutiara, marjan, ambar, dll.);
    6. Rikaz (harta terpendam dari zaman dahulu (harta karun).

b. Zakat Nafsh (Zakat Fitrah) adalah Zakat dalam bentuk kebutuhan pokok bagi masyarakat
sekitar yang diberikan pada akhir bulan Ramadan atau sebelum hari raya Idul Fitri. Zakat Fitrah (Zakat Nafsh) ini mempunyai sifat khusus, mutlak harus diberikan sebelum sholat Idul Fitri. Apabila Zakat itu diberikan setelah sholat idul Fitri, maka Zakat tersebut bukanlah Zakat Fitrah, melainkan Sedekah biasa.

Kedudukan Zakat Didalam Sistem Perpajakan Nasional

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas, Zakat memiliki fungsi yang sangat strategis dalam hubungan sosial masyarakat, sebagai penyeimbang antara warga masyarakat yang berada dan masyarakat yang kurang berpunya, sehingga apabila zakat ini dapat digali dengan sistem yang terkoordinasi dengan yang terkait serta langsung dikendalikan oleh pemerintah, maka bukan mustahil zakat akan semakin berdaya guna dengan baik, serta dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Lalu bagaimanakah sebenarnya kedudukan Zakat sendiri dalam sistem perpajakan nasional, apakah zakat sudah merupakan bagian pengurang pajak ??
Bagi kaum muslim yang telah memenuhi kewajiban membayar Zakat kepada Lembaga Amil Zakat (LAZIS) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 2009, maka zakat yang dibayarkan tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang zakat. Artinya Zakat yang tidak dibayarkan melalui Lembaga yang telah resmi ditunjuk oleh Pemerintah, maka tidak bisa menjadi pengurang Pajak itu sendiri.
Hal ini tidak berlaku bagi muzakki yang membayarkan langsung kewajiban zakatnya kepada masyarakat tanpa melalui Lembaga Amil Zakat yang telah ditetukan oleh Pemerintah. Demikian itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 19 tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, huruf f disebutkan bahwa “harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah”.



BAB IV KESIMPULAN

Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.
Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak :
1.      Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2.      Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)
3.      Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4.      Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.
Adapun segi perbedaannya :
1.      Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat : suci, tumbuh. Pajak (dharaba) : upeti.
2.      Mengenai hakikat dan tujuannya
Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3.      Mengenai batas nisab dan ketentuannya.
Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.
4.      Mengenai kelestarian dan kelangsungannya.
Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5.      Mengenai pengeluarannya.
Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.
6.      Hubungannya dengan penguasa.
Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkan¬nya sendiri-sendiri.
7.      Maksud dan tujuan.
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadah dan pajak sekaligus". Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983  TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

SURAT KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 8 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN AMIL ZAKAT TINGKAT NASIONAL
SURAT KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NO. 581 TAHUN 1999 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

Monzer Kahf, Ekonomi Islam Telaah Analitk Terhadap Fungsi Ekonomi Islam,(Yogyakarta, Aditya Media, 2000), Cet 1, Edisi II, hlm, 97
MARCEL BOUSARD dalam CECEP YUSUF PRAMANA “Fungsi Zakat sebagai Media Transformasi Masyarakat”, Kompas 19 November 2002.


[2] Monzer Kahf, Ekonomi Islam Telaah Analitk Terhadap Fungsi Ekonomi Islam,(Yogyakarta, Aditya Media, 2000), Cet 1, Edisi II, hlm, 97
[3] MARCEL BOUSARD dalam CECEP YUSUF PRAMANA “Fungsi Zakat sebagai Media Transformasi Masyarakat”, Kompas 19 November 2002.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

PUTUSAN PENGADILAN
DALAM HUKUM ACARA PERDATA

PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang


Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan - peraturan yang  memuat tata cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan tata cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan - peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang harus dijalani sesuai dengan apa yang telah diatur didalamnya. Tanpa adanya hukum acara perdata, maka mustahil hukum perdata materiil dapat dilaksanakan.

Tujuan dari suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya dalam suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan itu direalisir, jika perlu dengan paksaan.[1]

Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari dari hukum acara formil yang akan dijalani oleh para pihak yang terkait dalam perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah tahapan yang menjadi tujuan. Oleh karena itu penulis akan menguraikan secara lebih detail bagaimana tata cara dan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh hakim dalam mumbuat sebuah putusan. Karena apabila terdapat suatu yang belum atau tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh undang – undang maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan menjadi batal demi hukum. [2]

2.      Rumusan Masalah


Dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahan hanya tehadap beberapa hal dengan harapan agar dalam merumuskan sesuatu dapat lebih focus dan terarah. Hal ini akan memudahkan pembaca untuk memahami apa yang dimaksud dalam makalah ini, berbeda ketika suatu pembahasan yang panjang dan bertele-tele tentunya akan menggiring pembaca pada hal hal lain yang bahkan akan melenceng dari tujuan penulisan makalah ini. Untuk itu pada makalah ini penulis hanya akan menguraikan terbatas pada :
1.      Pengertian Putusan Pengadilan
2.      Jenis – jenis Putusan Pengadilan
3.      Asas Putusan Hakim
4.      Susunan dan Isi Putusan Pengadilan
5.      Kekuatan Putusan Pengadilan

3.      Tujuan Penulisan


Dengan tulisan ini diharapkan semua pihak khususnya pembaca dapat memahami apakah arti putusan pengadilan, bagaimanakan sistematika atau susunan putusan itu harus dibuat, lalu jenis – jenis putusan pengadilan itu dan kemudian yang terakhir bagaimana kekuatan sebuah putusan sehinga dapat dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara.

4.      Manfaat Penulisan


Walaupun tulisan ini sangat sederhana dan masih sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh pembaca pada umumnya karena katerbatasan ilmu dan wawasan penulis, mudah-mudahan sedikit dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan sebuah referensi, bahan bacaan untuk  memperkaya khasanah kepustakaan yang telah dimiliki serta dapat memacu penulis untuk lebih banyak menggali wawasan dengan membaca literature dan buku – buku yang berkaitan dengan hukum acara perdata khususnya, agar dalam membuat tulisan dapat lebih berkualitas yang dapat dijadikan rujukan oleh pembaca.

PEMBAHASAN


I.            Pengertian  Putusan Pengadilan


Penjelasan pasal 60 undang – undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Sedangkan Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa : "Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. (Dewi, 2005, hal: 148).
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,  Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”. [3]

Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan  yang harus ditaati.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik [5] dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik [6] dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.[7]

Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis untuk menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepda pihak yang berperkara. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat pertama.

Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang - undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.

Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan.Pengadilan menjatuhkan putusan atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat.

II.            Jenis – Jenis Putusan


Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat sedemikian rupa agar prosesnya dapat berjalan secara cepat, sederhana, mudah dimengerti dan tentunya dengan biaya yang murah.
Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.      Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara
2.      Penetapan / beschikking : suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair


Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam pengolongan putusan yakni :
1.      Putusan Sela ( Putusan interlokutoir) [8]
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu :
1)      Putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir
2)      Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir
3)      Putusan Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
4)      Putusan provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
2.      Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA. Macam-macam putusan akhir adalah sbb. :
1)      Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.
2)      Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.
3)      Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya untuk membayar hutangnya.

III.            Asas Putusan Hakim


Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum, yakni :
1.      Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar putusan, serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang – undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta berdasarkan sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum adapt baik tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang – undang No. 4 tahun 2004 pasal 25 Ayat (1). Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) hakim wajb mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.
2.      Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim tidak boleh hanya memerriksa sebagian saja dari tuntutn yang diajukan oleh penggugat.

3.      Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan


Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur dalam Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.

4.      Diucapkan di Muka Umum

Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, khususnya dalam bidang hukum keluarga, misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan membenarkan perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup.
Namun dalam pasal 34 peraturan Pemerintah tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat dikesampingkan, pelnggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.

IV.            Susunan dan Isi Putusan Pengadilan


Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR [9] , Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Menurut ketentuan undang undang ini, setiap putusan harus memuat hal – hal sebagai berikut :

1)      Kepala Putusan

Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut

2)      Identitas pihak yang berperkara

Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.

3)      Pertimbangan atau alasan-alasan

Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu  pertimbangan tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya.
Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.

Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970

4)      Amar atau diktum putusan

Dalam amar dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.
5)      Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam pasal 184 ayat (1) H.I.R dan pasal 187 R.Bg., bahkan dalam 183 ayat (1) H.I.R. dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.

V.            Kekuatan Putusan Hakim


Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu :

1)      Kekuatan Mengikat

Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat untukmenyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim.

2)      Kekuatan Pembuktian

Putusan pengadilan yang dituangkan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh kedua pihak apabila diperlukan sewaktu – waktu oleh para pihak untuk mengajukan upaya hukum.

3)      Kekuatan Executorial

Putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh para pihak dengan bantuan  alat – alat negara terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Kesimpulan


Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara sengketa antar pihak. Putusan yang dibuat oleh hakim haruslah mengikuti tata cara yang disyahkan oleh perundang - undangan yang ada, melalui yurisprudensi, kebiasaan –kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.

Sistematika atau susunan putusan harus mengacu pada ketentuan yang ada, untuk itu dalam edaran S.E.M.A telah diberikan semacam guidance atau petunjuk agar sebelum hakim membacakan putusan agar terlebih dahulu membuat konsep putusan tersebut, hal ini dimaksuudkan agar pada saat pembacaan putusan tidak terjadi kesalahan yang fatal yang dapat berakibat cacat sebuah putusan.

Pelanggaran, kelalaian atau kealpaan hakim terhadap ketentuan yang telah digariskan oleh perundangan dapat mengakibatkan keputusan yang dibuat menjadi cacat (invalid). Bila terjadi hal yang demikian tentunya proses persidangan yang telah berlangsung yang telah banyak menyita waktu akan sangat merugikan bagi para pihak yang bersengketa, disamping itu biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak akan bertambah besar, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan prinsip peradilan yang cepat dan biaya murah. 

Saran


Dengan semakin pesatnya perkembangan technology yang ada saat sekarang maupun masa – masa yang akan datang, maka mutlak diperlukan bagi pemerintah, hakim, para intelektual, pakar pakar hukum serta para pihak yang, untuk selalu menggali kemungkinan - kemungkinan yang akan dan ataupun yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum, karena pada hakikatnya tidaklah mungkin peraturan – peraturan yang dibuat itu sempurna, sehingga diperlukan perbaikan – perbaikan sesuai dengan perkembangan zaman.

Mudah – mudahan tulisan singkat ini dapat membawa manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya, guna menambah khasanah pengetahuan yang telah ada. Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam awal tulisan ini, mengingat keterbatasan pengetahuan penulis, kiranya kritik dan saran amat penulis perlukan untuk perbaikan pada masa – masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA



·         Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
·         M. Yahya Harahap,S.H. Hukum Acara Perdata, 2010. Jakarta: Sinar Grafita
·         Prof. R. Subekti, S.H, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, Cet. Ke 3, 1989
·         Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, 1998. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
·         Ny. Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata, S.H. Hukum Acara Perdata, 1997. Bandung: Cv Mandar Maju.
·         Sudarto, S.H. Modul Hukum Acara Perdata 2011, Universitas Muhammadiyah Surabaya.
·         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2010. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
·         Herzien Indonesia Reglement (HIR).


[1]  Prof. R. Subekti, SH., Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1977
[2]  Sebagaimana ditentukan dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004, Tentang kekuasaan Kehakiman, Pasal 19
[3]  Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,penerbit: Liberty,Jogyakarta,1993,Hal. 174.
[4]  Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Cet. I, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, Hal 124.
[5]  Jawaban atas tangkisan terdakwa atau pengacaranya
[6]  Jawaban kedua sebagai jawaban atas replik
[7]  Kesimpulan (pendapat)
[8]  Prof. R. Subekti, SH.,  Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989, Hal. 129
[9]  Pasal 178 HIR.
1)       Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencukupkan alasan-alasan Hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
2)       Ia wajib mengadili segala bagian gugatan
3)       Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau meluluskan lebih dari apa yang digugat.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer