Pages

Senin, Juli 25

Tinjauan Putusan Perkara Perdata

A.     PENDAHULUAN


Terpenuhinya keadaan tentram, aman dan sejahtera adalah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, namun dalam kenyataannya tidaklah semua dapat terpenuhi dengan baik, karena tingkat kebutuhan manusia yang satu dengan lainnya berbeda – beda, sehingga kadangkala manusia dalam mencapai suatu tujuan / keinginannya tidak memedulikan kepentingan atau hak milik orang lain. Dengan demikian maka sangat diperlukan suatu perangkat / media yang dapat membantu untuk membantu manusia dalam mendapatkan hak yang seharusnya diperoleh.
Tujuan suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim, maka hubungan antara kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) yang berperkara ditetapkan untuk selama – lamanya dengan tujuan agar apabila salah satu pihak tidak mentaati secara sukarela dapat dipaksakan dengan menggunakan bantuan alat-alat Negara.[1] Hakim dalam proses peradilan perdata wajib terlebih dahulu menetapkan fakta – fakta (kejadian – kejadian ) yang dianggapnya benar, berdasarkan kebenaran yang didapatkan, hakim akan menerapkan hukum bagi kedua belah pihak (penggugat dan tergugat). [2]
Dalam hukum acara perdata inisiatif tentang ada dan tidaknya suatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, hal ini sangat berbeda dengan hukum acara pidana yang mana dalam hukum acara pidana pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang dirugikan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hakim dalam perkara hanya bersikap pasif,  hakim bersifat menunggu,  pengajuan gugatan atau tuntutan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berperkara.
Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 57/Pdt.G/2004/PN.PBR atas sengketa perdata antara Basyaruddin Juran melawan Azmi H. Ishak, perlu penulis angkat sebagai kajian dalam tugas makalah Hukum Acara Perdata, mengingat masih adanya upaya hukum lanjutan oleh pihak penggugat atas putusan pengadilan negeri tersebut.

B.   PERUMUSAN MASALAH


Dalam penulisan ini dirumuskan masalah sejauhmana wewenang hakim untuk memutus suatu perkara perdata atas Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 57/Pdt.G/2004/PN.PBR atas sengketa perdata antara Basyaruddin Juran melawan :
Tergugat :
1.      Azmi H. Ishak
2.      Pemerintah Republik Indonesia Cq Menteri Dalam Negeri cq Gubernur Provinsi Riau Cq Kannwil BPN Cq Kepala Kantor / Dinas Badan Pertanahan Kota Pekanbaru
3.      PT. Bank Rakyat Indonesia cq PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Pekanbaru
4.      Kepala kantor Pelayanan Piutang dan lelang Negara Pekanbaru

C.  TINJAUAN PUSTAKA


Ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa ditentukan para pihak. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan para pihak. Para pihak yang wajib membuktikan, bukan Hakim. Apabila perkara sudah diajukan ke pengadilan hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. Hakim dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2), (3) HIR, Pasal 189 ayat (2), (3) RBg, hal ini sangatlah berbeda dengan sikap hakim dalam hukum acara pidana yang mengharuskan hakim menggali secara aktif guna mendapatkan kebenaran materiil.

D.  PEMBAHASAN


1.      Pokok Perkara
Untuk lebih memperjelas apa yang akan menjadi pokok penulisan ini, maka penulis akan mengutip terlebih dahulu pokok masalah yang timbul, sehingga keputusan hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru tersebut memang telah sesuai dengan perundangan yang ada. Adapun kutipan perkara yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Penggugat telah mengajukan permohonan pinjaman kredit kepada tergugat III dengan jaminan berupa sebidang tanah beserta bangunan diatasnya dengan SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) No. 559 tanggal 16 Mei 1979 atas nama penggugat. Karena suatu hal Penggugat tidak dapat membayar angsuran hutangnya kepada tergugat III dan kreditnya dinyatakan macet, selanjutnya tergugat III melimpahkan penagihan kepada tergugat IV, yang selanjutnya tergugat IV melakukan penyitaan terhadap jaminan hutang berupa sebidang tanah beserta bangunan diatasnya dengan SHGB No. 559 tanggal 16 Mei 1979 atas nama penggugat melakukan penjualan lelang dengan risalah Lelang No. RI.175/2004 Tanggal 22 Juli dengan pemenang lelang Tergugat I.
Yang menjadi pokok permasalahan disini adalah disertakannya tanah milik penggugat dengan surat keterangan No. 30/SK/DSB/VI/1995 yang bersempadan dengan SHGB No. 559 tanggal 16 Mei 1979 menjadi obyek lelang oleh tergugat IV, padahal tanah tersebut tidak termasuk ke dalam jaminan atas pinjaman penggugat.
Yang menjadi fokus bahasan penulis adalah salah satu gugatan yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat II yang kutipan lengkapnya adalah: “ Menghukum tergugat II untuk membatalkan sertifikat hak milik No. 213 tanggal 22 Oktober 2004 dan mengeluarkan sebagaian tanah milik penggugat seluas 10 x 60 m2 yang merupakan bagian tanah sebagaimana diuraikan dalam Surat keterangan tanah No. 30/SK/DSB/VI/1995 tanggal 8 Juni 1995”.
2.      Kewenangan mengadili
Dalam setiap pengajuan perkara ke pengadilan sangat mutlak dibutuhkan kejelian kita untuk menentukan ke pengadilan mana seharusnya perkara diajukan, karena  masing- masing badan peradilan itu mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan oleh badan peradilan yang lain. Apa yang menjadi wewenang badan peradilan umum tidak dapat dilakukan badan peradilan tata usaha negara begitu seterusnya masing-masing punya wewenang sendiri-sendiri, wewenang inilah yang disebut dengan Kompetensi Mutlak/absolut.
Dalam kasus diatas seharusnya penggugat menentukan terlebih dahulu pengadilan manakah yang berwenang mengadili terkait sengketa yang diajukan. Mengingat fokus gugatannya adalah pembatalan keputusan yang telah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Kota Pekanbaru (tergugat II) yakni membuat atau menerbitkan Sertifikat Hak Milik No. 213 atas nama tergugat I.
Yang memiliki kompetensi / wewenang mengadili tindakan yang dilakukan oleh tergugat II, dalam hal ini adalah Kepala Badan Pertanahan Kota Pekanbaru karena merupakan tindakan atau keputusan tata usaha Negara, maka sudah seharusnyalah gugatan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara bukan ke Pengadilan Negeri, karena Pengadilan Negeri tidak memiliki wewenang untuk mengadili gugatan yang terkait dengan perbuatan tata usaha Negara.
3.      Kewenangan hakim
Sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada awal tulisan ini, hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, terkait kasus ini Penggugat yang telah mengajukan perkaranya di Penggadilan Negeri Pekanbaru, bagi hakim wajiblah hukumnya untuk memproses lebih lanjut gugatan yang diajukan oleh penggugat, namun dalam perjalanannya ternyata adalah sebagian gugatan yang bukan merupakan wewenangnya, maka menjadi batal gugatan yang diajukan.
a.      Putusan
Sebagaimana diuraikan dalam salinan keputusan Nomor 57/Pdt.G/2004/PN.PBR, bahwa putusan yang dibuat telah syah secara hukum acara perdata karena proses awal sampai dengan putusan dibacakan telah dilewati dengan dengan baik, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam perundangan yang ada yakni, harus mengandung unsure-unsur sebagai berikut ;
       Proses pemeriksaan di persidangan dianggap selesai apabila telah melalui tahapan Jawaban dari Tergugat (pasal 121 HIR-pasal 113 Rv) Replik dari Penggugat (pasal 115 Rv), Duplik dari Tergugat, Pembuktian dan Konklusi (kesimpulan). Selanjutnya Hakim melakukan musyawarah untuk mengambil KEPUTUSAN (pasal 178 HIR, pasal 189 RBG).
         Putusan yang diambil oleh Hakim ini berisi penyelesaian perkara yang disengketakan oleh para pihak. Berdasarkan putusan tersebut akan ditentukan oleh Hakim hak maupun hubungan hukum para pihak dengan obyek yang disengketakan.
b.      Sitematika Putusan
Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pada Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap putusan harus memuat hal hal sebagai berikut :
-          Alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, yurisprudensi atau doktrin hukum yang berhubungan dengan perkara yang diputus ( pasal 25 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004).
-          Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004)
-          Hakim wajib karena jabatannya mencukupkan alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara (Menurut pasal 178 HIR) Dalam mengambil putusan Hakim tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Harus secara total dan menyeluruh dalam memeriksa dan mengadili gugatan yang diajukan (pasal 178 ayat (2) HIR, pasal 189 ayat (2) RBG, dan pasal 50 Rv.
-          Hakim tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang diajukan dalam gugatan (ultra petitum partium / ultra petita). Apabila hal itu terjadi maka hakim dianggap telah bertindak melampaui wewenangnya, atau melakukan tindakan yang tidak sah ( ilegal ) meskipun dilakukan dengan itikad baik. Tindakan ini tidak sesuai dengan pasal 178 ayat (3) HIR.
-          Prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum mulai dari proses awal sampai putusan. Hal ini bertujuan untuk menjamin proses peradilan yang fair dan menghindari prilaku yang tidak benar atau tercela dalam proses persidangan seperti memihak kepada sala satu pihak atau bertindak diskriminatif. Sedangkan unt kasus-kasus tertentu yang pada tahap pemeriksaan sidangnya dilakukan secara tertutup, mengenai pengucapan atau pembacaan putusan tetap tunduk kepada ketentuan pasal 20 UU No. 4 tahun 2004 yaitu diucapkan dalam sidang terbuka.

KESIMPULAN


Sebenarnya penerapan pasal 116, Undang - Undang No. 9 tahun 2004 sudah menjadi lebih baik dari pada sebelum di revisi.Hal ini dapat dilihat dari sangsi yang lebih berat didalamnya. Namun Uang paksa ( masih menimbulkan permasalahan, antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa, siapa yang akan dibebankan uang, dan sejak kapan uang paksa diberlakukan.
Penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir).
Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 Undang - Undang No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Nmun ketentuan Pasal 116 Undang - Undang No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 Undang - Undang No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Diharapkan nantinya dengan adanya kepastian tentang pejunjuk-petunjuk tersebut pelaksanaan Undang - Undang Pasal 116 No. 9 tahun 2004 dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kepastian hukum bagi masyarakat.

SARAN


Kaitanya dengan kesimpulan tersebut diatas, penulis memberikan saran sebagai berikut :
1.      Sudah seharusnya penggugat memilah – milah terlebih dahulu gugatannya harus diajukan, mana yang harus diajukan ke Pengadilan negeri dan mana gugatan yang harus diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, agar pengadilan tidak menyatakan sebagai gugatan kabur.
2.      Perlunya penerapan prinsip good governance sehingga pelaksanaan pemerintahan akan lebih transparan, berpihak pada demokrasi dan kemakmuran rakyat. Dan konflik-konflik mengenai sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, bisa lebih berkurang.

DAFTAR PUSTAKA


1.      Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang, 2003, hlm (3-4).
2.      Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Bogor- Jakarta, 1995, hlm. (16-17).
3.      Zairin Harahap. 1997. HukumAcara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada
4.      Indroharto,SH, Undang - Undang No. 5 tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002.
5.      Prof. Drs, C. S. T. Kansil, SH. Dan Cristine S. T. Kansil, SH., MH. Undang - Undang No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PT. PRADNYA PARAMITA, Jakarta, 2006.
6.      Prof. Drs, C. S. T. Kansil, SH. Dan Cristine S. T. Kansil, SH., MH. Kitab Undang - Undang Hukum Acara Peradilan, PT. PRADNYA PARAMITA, Jakarta, 2006.
7.      Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1999 Tentang Disiplin Pegwai Negeri.


[1]  Ny. Retnowulan, S.H dan Iskandar Oeripkartawinata, hukum Acara perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung 1995
[2]  Prof. R. Subekti, S.H, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung 1989.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar